Rabu, 04 Maret 2009

Minggu, 15 Februari 2009

Renungan Buat Para Calon Sarjana

Oleh : Sumardi Evulae
Kepala BPL HMI Cabang Kota Jantho

Dalam rentang waktu February - Mei 2008, saya tiga kali diundang oleh tiga perguruan tinggi berbeda di Banda Aceh dan Aceh Besar. Ketiganya mengundang saya dalam kapasitas sebagai praktisi dan motivator educational untuk mengisi Kuliah Umum (stadium general). Selama saya mengisi acara, ada “catatan besar” yang saya peroleh. Catatan besar itu lebih mengarah pada kegelisahan saya akan masa depan para mahasiswa kita. Terutama terkait dengan ke mana mereka akan berlabuh setelah mereka lulus kuliah. Artikel ini mencoba mengupasnya.

Disadari atau tidak, saat ini keadaan mahasiswa kita masih sangat mengkhawatirkan. Hal ini tidak saja karena tuntutan persaingan yang luar biasa, melainkan orientasi mahasiswa yang sangat praktis pragmatis. Coba tanya, ke mana mereka setelah lulus kuliah? Jawaban singkat yang muncul adalah “mencari kerja”.

Kata-kata “mencari” saya temukan dalam tiga kali pertemuan di tiga kampus yang berbeda. Mungkin sudah hal yang umum dan tidak ada yang aneh melihat jawaban para mahasiswa tersebut. Hanya saya khawatir, “mencari” adalah sama dengan “belum menemukan sesuatu”. Itu artinya mahasiswa kita selama 4-5 tahun kuliah tidak mendapatkan apa-apa. Bahkan, ilmu yang mereka dapatkan sering kali tidak sesuai dengan apa (pekerjaan) yang mereka cari. Misalnya, mahasiswa teknik bekerja di perbankan begitu pun sebaliknya. Itu artinya apa? Mahasiswa kita kebanyakan memperoleh ilmu yang setengah-setengah alias tidak matang. Untuk memahami masalah ini, saya kutipkan sebuah kisah inspiratif di bawah ini.

Diceritakan, ada seorang pemuda yang mengendap-endap untuk mencapai sebuah pohon mangga. Buah yang bergelantungan membangkitkan seleranya. Beberapa saat kemudian, ia berusaha meraih beberapa buah untuk mengobati air liur yang mulai memenuhi mulutnya. Namun, sontak ia dikagetkan oleh suara ayahnya yang tiba-tiba saja muncul dari arah belakang. “Jangan anakku, urungkan niatmu memetik buah itu!” tegur sang ayah bijak. Pemuda itu lantas berpaling ke arah ayahnya, sementara tangannya seperti kejang menggapai angin.

Dengan sigap dan penuh kelembutan, sang ayah meraih tangan anaknya. Lalu, membawanya berkeliling mengitari kebun pohon mangga. Sambil berjalan-jalan santai, ia mulai menasihati anaknya. “Anakku, memetik buah itu bukanlah tujuan yang hendak kita capai. Tujuan yang sebenarnya adalah mengambil manfaat dari buah itu setelah kita memetiknya. Ayah kira, buah yang belum matang itu tidak banyak memberikan manfaat bagi manusia. Oleh karena itu, tunggulah beberapa saat hingga buah itu matang dan kita dapat mengambil manfaat darinya.” Begitu nasihatnya.

Dari uraian kisah di atas, kita dapat mengambil makna bagaimana seseorang perlu bersabar dalam meraih kesuksesan. Sabar dalam pengertian ini adalah memahami apa (what), kapan (when), di mana (where) dan bagaimana (how) sebuah keputusan itu diambil. Selama ini, hidup kita lebih banyak didominasi oleh keputusan-keputusan yang dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat materi semata tanpa memahami akibat yang ditimbulkan. Mencari pekerjaan bertujuan untuk mendapatkan uang, mendirikan usaha bisnis juga untuk memperoleh uang, termasuk mencari ilmu (saat ini) entah itu kuliah S-1, S-2, atau S-3 tidak jauh dari tujuan utama untuk menghasilkan uang. Singkatnya, uang saat ini sudah menjadi tujuan utama dalam hidup. Bahkan, karena uang, orang menjadi jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kesabaran.

Empat tahun seseorang dididik, diajarkan, dan dilatih untuk bisa menjadi seorang sarjana. Atribut sosial kesarjanaan selalu identik dengan status sosial. Ketika orang menjadi sarjana, maka ia sudah masuk di kelas menengah. Status sosial inilah yang mestinya disikapi secara cerdas oleh para mahasiswa kita saat ini. Jika tujuan utama kuliah adalah masih mencari kerja, maka yang ia dapatkan pun adalah kekecewaan. Barisan pengangguran yang terus bertambah jumlahnya tiap tahun memberi pelajaran berharga pada kita semua betapa kuliah ternyata tidak mampu menjawab masalah pengangguran. Kondisi ini mesti disikapi secara cerdas oleh para calon sarjana kita jika hendak lulus kuliah.

Ada tiga cara efektif dan cerdas agar kita tidak tergantung sebatas mencari kerja. Namun, setelah kuliah harus bisa menciptakan lapangan kerja. Cara cerdas ini antara lain: Pertama, mulailah dengan cinta. Mengapa cinta? Karena, dengan punya cinta maka segalanya akan terasa lebih mudah dan ringan. Jika Anda cinta musik, Anda punya peluang (opportunity) besar untuk buka usaha studio musik. Jika Anda cinta automotif, Anda punya peluang besar untuk membuka bisnis bengkel atau cuci motor/mobil.

Jika Anda cinta memasak, maka Anda punya peluang besar untuk buka usaha rumah makan, restoran, atau kursus memasak. Jika Anda cinta menulis, maka Anda punya peluang besar untuk buka usaha kursus jurnalistik. Termasuk jika Anda cinta bahasa asing, maka Anda punya peluang besar untuk buka kursus bahasa asing. Dengan cinta itulah, minat dan hobi bisa berubah menjadi bisnis yang menggiurkan. Cobalah Anda mencintai apa yang menjadi minat dan hobi Anda.

Kedua, tindak lanjuti dengan aksi. Artinya, perlu tindakan konkrit. Mencintai sesuatu tidak akan bermakna jika tidak ada langkah nyata. Wirausaha membutuhkan semangat aksi. Saya menganut ajaran: “Lakukan dulu, soal perencanaan dan lain sebagainya bisa dikerjakan belakangan.” Jika belum apa-apa sudah takut ini takut itu, maka bisnisnya tidak akan pernah jadi. Karena, sebenarnya ketakutan itu diciptakan sendiri oleh kita, bukan orang lain.
Ketiga, buktikan dengan budi pekerti. Artinya, setelah cinta mewujud menjadi aksi, maka wirausaha perlu budi pekerti yang baik. Berbisnis perlu aturan main yang baik, tidak boleh sikut sana sikut sini. Kejujuran dan keramah tamahan pada para konsumen akan semakin memikat dan mengikat mereka untuk kembali lagi bertransaksi dengan kita.


Tidak ada yang instant

Saya bertanya kepada beberapa teman mahasiswa semester akhir “Apa tujuan kalian setelah kuliah ini selesai dan kalian jadi sarjana?” “Ya jelas kerja dong...” ini jawaban spontan. “Kerja apa dan di mana?” “Apa saja, kalau bisa sih yang sesuai dengan bidang Saya. Kalau nggak dapat, pekerjaan lain juga tidak masalah. Yang penting kerja dan dapat gaji.”

Maksudnya jelas, mereka akan mencari kerja, dalam arti mencari pekerjaan di perusahaan siapa saja dengan pekerjaan apa saja kalau tidak ada yang pas, yang penting dapat gaji, uang. Itu adalah cita-cita mereka. Selama Saya ngobrol dengan teman-teman mahasiswa jarang sekali Saya mendapatkan jawaban, bahwa setelah kuliah ini mereka akan membuat atau menciptakan sesuatu. Menjadi peneliti tentang pendidikan misalnya, kemudian merombak sistem pendidikan yang sering di katakan oleh para pakar pendidikan sebagai tidak betul, tetapi si pakar itu sendiri tidak pernah membetulkan.

Atau misalnya menjadi pencipta dan penemu yang berhubungan dengan pendidikan formalnya, katakanlah seorang Sarjana Ekonomi jurusan manajemen yang menjadi suatu sistem manajemen terbaru, yang bisa mengatasi kesenjangan manajemen di suatu kantor yang khas sistem keluarga. Atau seorang lulusan akuntansi yang menemukan suatu sistem tertentu untuk menangkal pungli dan praktik under the table.

Penemu, pencipta, dan peneliti biasanya justru menjadi pekerjaan para pengangguran yang terpaksa mengaku diri sebagai peneliti, pencipta dan penemu supaya tidak di katakan pengangguran. Para fresh graduate lebih senang menjadi kuli untuk membenarkan ungkapan yang ada di jaman penjajahan, van volk van koelies en koeli onder de volken!

Bila ditanya mengapa kok begitu, jawabannya pasti seragam, masalah modal dan pengalaman. “Saya kan nggak punya modal.” “Saya kan nggak punya pengalaman.” Itulah ungkapan golongan Ekonomi bawah. Bagi yang kelas Ekonominya agak ke atas, jawabannya juga seragam, “Ayah kan udah uzur, jadi kita dong yang mesti menggantikan ayah mengurus usaha keluarga.” Susah-susah sekolah sampai ke Amerika, setelah pulang cuma jadi bos bengkel mobil atau ngurusin perusahaan angkutan truk kelas local.

Mahasiswa kita didik oleh profesor dan para pakar yang memakai sistem dogma, betul salah, dan memorisasi. Jadi tidak salah kalau mereka lulus dan memulai hafalannya dengan “mencari kerja” sebagai kuli dan bukan penemu. Para pakar mengatakan dengan bahasa halus bahwa mahasiswa kita tidak siap pakai. Memangnya Mau di pakai untuk apa? Apa ungkapan “tidak siap pakai” itu tidak salah? Bila para mahasiswa tadi seharusnya siap pakai, apa itu tidak berarti menjadi kuli? Apa memang kita produsen kuli dan di takdirkan menjadi bangsa kuli seperti ungkapan kuno itu? Kalau para pakar mengetahui bahwa mahasiswa “tidak siap pakai”, mengapa mereka tidak berusaha mengubah tatanan pendidikan yang diajarkannya agar para mahasiswa itu “siap pakai”, sehingga paling tidak bisa menciptakan kuli yang tidak menganggur?

Lalu muncullah jawaban klise dari para pakar, “Mengubah struktur atau sistem pendidikan itu bukan hal mudah, harus melewati prosedur dan birokrasi, kita tidak bisa seenaknya mengubah suatu yang sudah mapan begitu saja …”

Kalau para pakar tetap dengan budaya prosedur, birokrasi, dan minta petunjuk, mohon perkenan, sampai kapanpun keadaan tetap sama. Mengubah struktur dan sistem pendidikan bukanlah seperti yang sering dikatakan para pakar di forum seminar dan lokakarya di hotel mewah atau ruang pertemuan bergengsi lembaga pendidikan. Mengubah struktur dan sistem pendidikan di mulai dengan mengubah cara berpikir para pendidik itu sendiri dan cara berpikir kita dengan pola yang tidak hanya didominasi oleh otak kiri. Bukan dengan mengubah anak didik kita atau mengubah kurikulum melalui seminar atau lokakarya.

Mengubah cara berpikir kita sendiri yang berprofesi pendidik adalah yang terutama dan terpenting. Ini sama sekali tidak berkaitan dengan soal gaji guru yang kecil dan masih di potong di sana sini, juga tidak berurusan dengan kondisi politik atau siapa presiden atau menteri pendidikannya. Ini hal yang sangat pribadi, sangat personal, tiap orang bersedia dan Mau mengubah cara berpikir dirinya sendiri. Itu saja, sudah lebih dari cukup. Bila dulu seorang guru berpikir menjadi guru adalah sebuah pekerjaan, sekarang ubahlah pikiran itu bahwa menjadi guru adalah sebuah misi, sebuah kebahagiaan meskipun harus dijalani dengan banyak keprihatinan. Ini kurang lebih sama dengan pengabdian seorang abdi dalem kraton di Jawa Tengah. Pengabdian adalah sebuah anugrah, derita fisik dan materi bukanlah apa-apa dibandingkan dengan kesempatan mengabdi kepada raja.

Bila profesi guru, dosen, dan pengajar masih menjadi sebuah pekerjaan dan bisnis, selama itu pula mahasiswa kita akan lulus dengan titel “tidak siap pakai”. Profesi guru, dosen dan pengajar seharusnya menjadi sebuah ritual yang menciptakan kebahagiaan dan kualitas hidup bagi pelakunya. Itulah upah pokok seorang guru, dosen, atau pengajar.

Sekolah di luar negeri bukanlah solusi selama tatanan dan pola pikir sedari lahir sampai menjelang dewasa tetap dengan tatanan khas yang kita dapat secara umum di negara kita. Dominasi otak kiri kita sudah berjalan cukup lama melewati beberapa generasi, ini di turunkan dan di wariskan lewat berbagai cara secara intensif detik demi detik oleh rata-rata masyarakat kita. Apakah itu bisa berubah begitu saja secara instant melalui pembelajaran atau perubahan kurikulum?

Kebiasaan menghafalkan pelajaran atau diktat (yang gunanya dalam kehidupan patut dipertanyakan), sadar tidak sadar melekat kuat bagai lintah. Kebiasaan matematika-ria setiap saat di setiap cela kehidupan, apapun itu, juga cukup erat juga bagaikan kebudayaan dan kultur. Bahkan kepada Tuhan pun masyarakat kita sangat sering ber-matematika-ria, bila hari ini Saya berbuat sesuatu yang kurang lebih berdosa atau melanggar sesuatu larangan menurut kitab suci, maka Saya harus berdo’a begini dan berbuat begitu supaya dosa tersebut diampuni. Soal individu lain yang kita rugikan melalui perbuatan yang tadi kita mintakan pengampunannya itu, apakah kita juga akan meminta maaf dan mengganti kerugian? Tidak perlu karena kita sudah “diampuni” Tuhan. Benarkah demikian?

Manusia berdo’a demi sebuah kapling di surga, dan ini adalah kenyataan yang bisa kita lihat sehari-hari. Manusia sudah berbisnis dengan Tuhan. Dan Tuhan menjadi pengusaha properti berlabel The Heaven Real Estate. Untuk ini hampir semua unsur dan berbagai sektor kehidupan harus ikut bertanggung jawab. Keadaan seperti ini tidak mungkin kita ubah secara instant menjadi lebih baik dan menjadi lebih seimbang cara berpikirnya. Saat ini ada puluhan juta orang Indonesia menjadi pengangguran, sementara para pejabat serta pakar berkoar soal iklim yang kondusif, bagaimana menarik investor, bagaimana mendapat utang luar negeri dan IMF. Reformasi dan demokrasi sekarang artinya menjadi lain dan sangat bias: bebas menjarah, bebas membakar-bakar, boleh berdemo di mana saja, boleh memaki-maki siapa saja, boleh membakar hidup-hidup seorang pencuri ayam atau sepeda motor. Dan, ini aneh, di balik itu semua kita berusaha mendapatkan label sebagai Manusia-Manusia religius.

Mengubah cara pikir bukanlah dengan agama atau kurikulum tetapi dengan mengubah diri, melakukan perjalanan ke dalam diri dan mengenal spiritualitas sebagai spiritualitas.

Ini yang sulit karena kita harus berani belajar tanpa lembaga, tanpa titel, dan tanpa harapan akan mendapatkan apa-apa. Tindakan ini suatu perjalanan petualangan yang akan menempuh gurun pasir terpanas, sungai dan lautan terganas, tetapi juga sekaligus sebuah hutan misterius yang begitu alamiah dan wangi khas hutan.

Tanpa harapan adalah hal terpenting yang akan menjadi tajuk awal perjalanan kita. Yang selanjutnya adalah pemahaman pada proses dan ketidakpedulian pada hasil akhir. Ini adalah deretan syarat untuk memulai perjalanan panjang tentang pemberdayaan diri dan mengembangkan kemampuan otak kanan.

Apakah Anda siap untuk memulai pelajaran ini? Tulisan ini tidak akan menjadikan Anda orang hebat atau sukses dalam segala bidang, apalagi seorang pintar yang jenius. Penulisnya pun bukan orang istimewa yang pintar dan jenius. Tulisan ini dibuat sebagai sebuah catatan perjalanan, sebuah catatan harian dan memoar untuk mengenang perjalanan panjang yang belum selesai.
Tulisan ini hanya akan menggelitik Anda untuk memulai perjalanan dan kemudian menemani di sepanjang perjalanan itu. Bukan membimbing! Bukan! Bila diinginkan label yang lebih jelas, paling-paling tulisan ini hanya akan menjadi seorang pelayan, seorang pembantu yang siap melayani Anda di dalam perjalanan. karena itu Saya menunggu Anda memulai perjalanan yang tidak bisa instant ini.

Ketiga cara yang telah dikemukakan di atas bisa dibuat formula sebagai berikut. Ibarat rumah, cinta adalah fondasi, tiangnya adalah aksi, atap-atapnya adalah budi pekerti. Karena itulah, untuk mereka yang akan lulus kuliah, melangkahlah dengan kaki keyakinan untuk menciptakan lapangan kerja dan tidak lagi mencari kerja. Jangan takut gagal, karena kegagalan adalah pintu memasuki keberhasilan. Selamat mencoba. Bagaimana menurut Anda?
tulisan ini menjadi juara III lomba artikel yang di buat oleh Majalah Sinarpost USM, tanggal 19 Ramadhan 1429 H.
penulis dapat di hubungi di uo83_lanteng@yahoo.com atau 08126916362